Lari Pagi
“Icoo maaf nunggu lama ya?” tanyanya memasuki mobil dengan raut sedih. Rico yang sedang membalas chat temannya lantas menoleh dan tersenyum lembut melihat Zea sudah duduk di kursi penumpang. Cantik. Pujinya dalam hati.
“Santai aja kali Ann, gua belum lama kok. Lagian juga tadi sambil balas chat grup jadi gak kerasa kok,” ucapnya masih dengan senyum yang belum pudar. “Tapi kan lo kasian jadi nunggu gue mana lama lagi,” imbuhnya menundukkan kepala merasa bersalah.
“Gapapa Ann. Ini masih mau debat apa mau jalan sekarang aja? Kalo masih mau debat ya gapapa, tapi nanti jangan sedih kalo buryam Pak Ali habis.” Zea terkesiap dengan cepat menoleh. “Eh yaudah ayo kita berangkat sekarang aja nanti keburu habis bubur ayamnya.” Zea dengan cepat memasang seatbelt untuk melindungi tubuhnya.
Rico tertawa kecil melihat tingkah temannya itu. Iya masih teman, tidak tahu nanti kedepannya bagaimana. “Udah boleh jalan sekarang?” tanya Ico kemudian setelah Zea memasang seatbelt-nya dengan benar. “LETS GO!” katanya semangat.
Mobil mereka berhenti di parkiran lumayan jauh dari tempat jogging karena hari ini diadakan car free day. Jadi mau tidak mau mereka harus jalan beberapa meter tidak apa-apalah hitung-hitung pemanasan.
“Ayo mulai lari,” ajak Zea saat sudah berada di kerumunan orang-orang yang juga melakukan lari pagi. “Sebentar.” Rico berjongkok di depannya mengikat tali sepatu Zea yang ternyata lepas. “Udah. Lain kali ditali dulu, takutnya nanti lo kesandung tali sepatu waktu lari.” Nasihatnya sembari berdiri menatap Zea yang terdiam.
“Ann? Lo kenapa? Lo sakit yaa?” tanyanya sembari meletakkan punggung tangannya di dahi Zea. “Enggak panas kok, tapi muka lo kenapa merah Ann?” tanyanya bingung dengan punggung tangannya setia berada di dahi Zea.
Zea tersadar dari lamunannya. Lo anjing yang buat muka gue panas. Sopankah lo bersikap gitu tanpa aba-aba? Gue salting cok. Gerutunya kesal dalam hati.
“Eh gue gapapa kok. Ayo lari sekarang aja keburu panas.” Jawabnya menyingkirkan tangan Rico dari dahinya. Zea mengibaskan kedua tangannya untuk menutupi salah tingkahnya sembari berlari meninggalkan Rico yang masih kebingungan di belakang. Gua salah apalagi yaa? tanyanya dalam hati. “Ann tungguin gua!”
“Hah…hah…hah….capek banget.” Zea meluruskan kakinya setelah berlari 10 putaran. “Nih minum dulu.” Rico menyodorkan sebotol air mineral yang sudah dibuka tutupnya. Zea mengambil botol air tersebut dan menepuk tanah sebelahnya mengisyaratkan Rico untuk duduk disebelahnya. Zea meminum air yang diberikan Rico hingga tersisa setengah botol.
“Makasih Icoo,” ucapnya menyodorkan kembali botol air mineralnya. Rico menganggukkan kepala sebagai balasan. “Gue kira lo masih lari,” lanjutnya lagi. Memang tadi di awal Zea meninggalkan Rico tapi di pertengahan malah sebaliknya. Rico menggeleng dan menjawab, “Enggak. Orang gua udah lari 20 putaran.” Zea menoleh terkejut mendengar ucapan Rico.
“Ayo mam buryam, tadi gue udah pesen dulu waktu lo masih lari.” Ajak Rico yang sudah berdiri dari duduknya mengulurkan tangannya membantu Zea berdiri. Zea menerima uluran tangan Rico masih dengan raut bingung. Orang di depannya gesit sekali geraknya.
Rico tersenyum kecil melihat wajah Zea. “Enggak usah bingung gitu muka lo haha.” Zea menormalkan raut wajahnya. “Habisan lo tiba-tiba banget udah selesai lari kasih minum gue. Habis itu udah pesen bubur?!” Zea masih terheran melihat tingkah Rico.
“Hahaha Ann. Lo jangan liatin gua kayak gitu anjir. Udah ayo jalan aja kita. Tuh udah rame warungnya.” Rico menarik lembut tangan Zea mengajaknya berlari sembari menunjuk ke arah warung bubur ayam dekat tempat parkir mereka.
“Hah…lo ngapain ngajak gue lari lagi…hah, capek Icoo.” Rico tertawa. “Sana duduk situ biar gua pesen dulu.” Melepaskan genggaman tangannya menunjuk bangku kosong yang berada di pojok. Karena hanya itu bangku yang kosong.
Zea mengangguk dan berjalan menuju bangku tersebut hingga dia berbalik badan mengatakan, “Oh iya Icoo bubur gue — ”
“Enggak pakai kacang kan?” tanya Rico memotong ucapannya. Zea terkejut. Namun dengan cepat mengangguk menjawab pertanyaan Rico dan berbalik badan menuju bangku yang ingin ditempatinya.
Zea masih melihat ke arah Rico yang sedang memesan dengan tertawa kecil. Entah apa yang mereka bicarakan, tetapi sepertinya itu hal seru. Rico tertawa sampai menyipitkan matanya.
Rupawan.
Satu kata yang terlintas di pikiran Zea saat melihat Rico tertawa. Mata yang menyipit saat tertawa membentuk bulan sabit. Hatinya berdesir. Detak jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dibandingkan saat selesai lari sepuluh putaran tadi.
Gue kenapa deg-degan setiap bareng Ico? Enggak mungkin kan? Enggak lah ya. Resahnya dalam hati.
“Nih bubur ayam enggak pake kacang punya lo.” Zea terkesiap mendapati Rico sudah di bangku depannya dengan menyodorkan mangkuk bubur ayam tanpa kacang ke arahnya.
“Wahh makasih Ico.” Rico mengangguk sebagai balasan. Zea menuangkan kecap dan sambal ke dalam mangkuknya. “Jangan banyak-banyak sambalnya Ann.” Zea mengangguk paham.
“Ini minumannya. Teh anget tawar buat Mas Rico dan Teh anget manis buat Mbak Zea yang manis,” kata Pak Ali menyodorkan dua gelas teh hangat ke hadapan mereka. Pipi Zea bersemu merah dipuji seperti itu.
Di samping warung bubur ayam Pak Ali yang sudah terkenal di kalangan anak UNRA, Pak Ali sudah kenal dengan mereka. Rico yang memang sudah langganan dari SMA dan Zea yang sering diajak Mela sarapan di sini setiap ada kelas pagi. Namun, baru kali ini Pak Ali mendapati keduanya sedang makan bubur ayam bersama.
“Ah Pak Ali bisa aja. Aku salting nih,” balasnya dengan tertawa kecil. Pak Ali dan Rico ikut tertawa mendengar penuturan Zea yang kelewat jujur.
“Makasih Pak Ali.”
“Sama-sama Mas. Kalo gitu saya pamit ke depan lagi nggih?” pamitnya pada dua sejoli itu. Rico mengangguk mengiyakan.
“Makasih Pak Ali yang manis,” teriak Zea saat Pak Ali sudah berjalan menjauhi meja mereka.
“Sama-sama Mbak Zea manis,” sahutnya menoleh ke belakang sembari mengacungkan jempolnya. Mereka tertawa lagi.
“Btw kok lo tau gue enggak suka makan bubur ayam pake kacang?” tanyanya sembari memasukan suapan pertama bubur ayam ke mulutnya.
“Makan dulu. Nanti aja tanyanya.” Zea mengangguk lagi. Mereka makan dengan tenang.
“Udah. Jadi lo kok tau gue kalo makan bubur ayam enggak pake kacang?” tanyanya lagi setelah menghabiskan semangkuk bubur ayamnya.
“Minum tuh teh lo keburu dingin.” Zea meminum teh hangatnya hingga tandas.
“Udah habis. Buruan jawab!” katanya menggoyangkan gelas bekas teh hangatnya yang sudah tak tersisa.
Rico tertawa kecil melihat tingkah Zea. Ada-ada aja tingkahnya. Gemes. Batinnya dalam hati. “Ih malah ketawa! Buruan jawab Icoo. Gue kepoooo,” rengeknya memajukan sedikit bibirnya ke depan.
“Sini gua bisikin.” Rico menggerakkan telunjuknya isyarat meminta Zea untuk mendekat. Zea mendekatkan telinganya dan berbisik, “Apa? Kenapa? Emang rahasia yaa? Sampe bisik-bisik segala.”
Rico mengamati keadaan sekitar mereka. Lalu mendekat dan berbisik di telinga Zea. “Lo jangan lucu-lucu. Nanti gua enggak tahan buat cium lo biar diem.” Rico memundurkan badanya sembari terkekeh kecil melihat Zea terdiam dengan kedua pipinya yang merona. Haha lucu banget pipinya merah. Rico tertawa dalam hati.
Sialan. Jantung gue. Makinya dalam hati.
Mendengar ucapan Rico membuat jantungnya lagi dan lagi berdetak kencang. Kayaknya habis ini gue harus periksa ke dokter deh. Jantung gue enggak sehat deg-degan terus belakangan ini. Paniknya dalam hati.
“Ann? Ayo pulang. Mau sampe kapan lo diem di situ?” Rico bertanya dengan posisi berdiri mengamatinya di dekat Pak Ali sepertinya baru selesai membayar. Entah sejak kapan dia sudah berada di sana. Zea menoleh ke sumber suara dan mengangguk paham.
Februari, 2023.
Written by rapunazelle.